Oleh: Rusdianto Sudirman Dosen Hukum Tata Negara IAIN Parepare Koltim, LIN News com - Dalam ruang sidang yang pengap, seorang ayah korban...
![]() |
Oleh: Rusdianto Sudirman
Dosen Hukum Tata Negara IAIN Parepare
Koltim, LIN News com - Dalam ruang sidang yang pengap, seorang ayah korban menatap kosong. Matanya merah, tangisnya telah kering. Tuntutan Jaksa Penuntut umum 7 tahun 6 bulan penjara bagaikan pisau tumpul yang menyayat perlahan. Anaknya, buah hatinya, telah kehilangan nyawa dalam tragedi yang kejam. Pelakunya, di bawah umur 18 tahun, dibelenggu oleh Pasal 81 ayat (2) UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).
Bagi hukum, ini mungkin sudah final. Tapi bagi keluarga korban, ini adalah luka baru yang lebih perih, sebuah pengakuan negara bahwa nyawa anak mereka hanya setara dengan hukuman yang tak sebanding.
UU SPPA No. 11 Tahun 2012 adalah buah dari paradigma progresif yang memuliakan restoratif justice dan perlindungan bagi anak yang berkonflik dengan hukum. Pasal 81 dengan tegas membatasi pidana penjara maksimal 50% dari ancaman pidana maksimum bagi orang dewasa. Dalam kasus pembunuhan (Pasal 338 KUHP), ancaman maksimal 15 tahun, berarti maksimal untuk anak adalah 7,5 tahun.
Secara normatif, ini konsisten. Jaksa telah bekerja dalam koridor. Namun, di sinilah letak paradoksnya, hukum yang lahir dari niatan mulia melindungi satu pihak (anak pelaku), justru berpotensi menjadi instrumen ketidakadilan bagi pihak lain (keluarga korban). Filosofi pemulihan dan masa depan pelaku seolah mengubur rasa keadilan retributif prinsip dasar bahwa hukuman harus seimbang dengan kesalahan.
Ketika seorang anak dirampas nyawanya secara paksa, apakah keadilan bagi orang tuanya hanya bisa diwakili oleh angka 7,5 tahun? Apakah kepentingan pelaku untuk "dipulihkan" dan diberi masa depan harus mengabaikan jeritan hati keluarga korban yang masa depannya telah ikut mati bersamaan dengan anak mereka?
Hukum sering kali terlalu sibuk menghitung bulan dan tahun di balik jeruji, namun lupa mengukur kedalaman luka yang ditinggalkan.
Bagi keluarga korban, setiap hari adalah pengulangan rasa kehilangan. Mereka tidak hanya kehilangan seorang anak pada satu malam tragis itu, mereka kehilangan dia di setiap pagi tanpa suaranya, di setiap makan malam yang sepi, di setiap hari ulang tahun yang tak lagi bisa dirayakan.
Hukuman 7,5 tahun, dengan remisi dan asimilasi, bisa menyisakan masa pidana yang bahkan terasa lebih pendek bagi pelaku. Sementara bagi keluarga korban, hukuman seumur hidup telah dijatuhkan, hidup tanpa kehadiran sang anak. Keadilan apakah yang mampu memahami kesenjangan antara "penderitaan terbatas" pelaku di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) dengan "penderitaan abadi" keluarga korban?
UU SPPA memberikan ruang bagi pendekatan Keadilan Restoratif melalui diversi. Namun, dalam kasus berat seperti pembunuhan, diversi seringkali tidak mungkin tercapai. Apa yang bisa direstorasikan ketika nyawa telah melayang? Proses mediasi pun, jika dilakukan, berisiko menjadi formalitas yang menyakitkan memaksa keluarga korban untuk "memaafkan" di atas penderitaan mereka yang masih mentah.
Ini bukan ajakan untuk membuang UU SPPA. Melindungi anak pelaku dari brutalitas sistem pemidanaan dewasa adalah kemajuan peradaban. Namun, kemajuan itu tidak boleh dibangun di atas puing-puing keadilan bagi korban.
Pertama, penegak hukum harus lebih agresif dan kreatif dalam mengeksplorasi keadilan restoratif yang substantif, bukan sekadar formal. Proses ini harus memastikan bahwa tanggung jawab pelaku diakui secara penuh, dan upaya pemulihan baik materiil maupun immateriil bagi keluarga korban benar-benar menjadi prioritas. Bukan sekadar ganti rugi, tetapi pengakuan dan penyesalan yang tulus.
Kedua, perlunya penafsiran yang lebih progresif . Meski Pasal 81 membatasi pidana, hakim memiliki kewenangan untuk mempertimbangkan unsur-unsur yang memberatkan seperti tingkat kekejaman, pengulangan tindakan, dan dampak psikologis yang luar biasa terhadap korban dalam putusannya. Masa pidana 7,5 tahun itu adalah batas maksimum, tetapi proses pembinaan di LPKA harus dirancang sedemikian rupa sehingga tidak serta merta membuat pelaku merasa "lunas" setelah waktu tertentu.
Ketiga, negara harus hadir lebih kuat. Di luar proses pidana, negara wajib memberikan pendampingan psikologis jangka panjang dan dukungan sosial komprehensif bagi keluarga korban. Rasa keadilan tidak hanya datang dari besarnya hukuman, tetapi juga dari pengakuan negara bahwa penderitaan mereka adalah nyata dan menjadi tanggung jawab bersama untuk meringankannya.
Kasus ini adalah cermin dari dilema abadi dalam hukum pidana: bagaimana menyeimbangkan antara memutus siklus kekerasan pada pelaku muda dengan memenuhi tuntutan rasa keadilan yang paling purba dari keluarga korban. Angka 7,5 tahun mungkin hitam di atas putih.
Namun, bagi seorang ibu yang anaknya tidak lagi bisa menghirup udara, keadilan tidak pernah sesederhana angka. Ia adalah tentang pengakuan bahwa setiap nyawa adalah semesta yang tidak tergantikan. Dan semesta yang direnggut paksa itu, pantas mendapatkan lebih dari sekadar hukuman yang terasa seperti catatan kaki dalam perjalanan hidup pelaku.